Langsung ke konten utama

BAB 6

Aku buru-buru ke parkiran belakang setelah bel pulang sekolah berbunyi lima menit lalu. Dengan kaki tertatih-tatih sebab rasa nyeri hingga sekarang masih dapat kurasakan, aku memaksakan diriku untuk tetap berjalan cepat. Sejujurnya, aku sedang mengindari Kalil sekarang. Beberapa menit lalu, ia mengirimkan satu pesan padaku. Sepupuku itu memintaku untuk menunggunya sebentar, karena katanya masih ada urusan ekstrakurikuler yang harus dibahas. Tentu saja aku menolaknya, melihat wajahnya saja sekarang membuatku muak. 

Aku sama sekali tidak membenci Kalil, hanya saja aku kesal dengannya. Akan kelakuan dirinya yang memperlakukanku seperti orang asing. Seperti seseorang yang tidak saling mengenal. 

Saat tiba di parkiran. Entah aku harus mengucap syukur atau justru beristighfar. 

"Kakinya udah sembuh?" Suara berat milik Disney Prince tiba-tiba masuk dalam indra pendengaranku. Sejurus kemudian, aku memekik kaget dalam hati. Sedikit menyeseli karena tidak menunggu Kalil saja. Ah ... tapi tidak, itu sama saja. Dengan Kalil atau tidak, itu sama saja. 

Naresh maju selangkah. Tas ransel warna navy ia taruh di salah satu motor matic warna hitam. Tebakanku itu adalah motornya. Kukira ia golongan orang tampan yang mengendarai motor laki-laki. Gimana ya bahasanya, motor yang sering digunakan anak laki-laki itu loh. Aku tidak mengetahui nama jenis motor semacam itu. 

"Lin!"

"Eh ya?"

"Kakinya udah sembuh?" tanyanya sembari memperhatikanku dari kepala hingga kaki yang terbalut sepatu pantofel. "Udah bisa dibawa lari emang?"

"Belum—eh udah kok."

Kekehan kecil kuar dari mulutnya. Senyumanya mengembang. Memperlihatkan lesung pipi di sebelah kiri. Iya, hanya satu. Tapi efeknya sungguh membuatku tidak baik-baik saja. Aku sedikit iri dengannya. 

"Tadi dicariin Kalil," ujar Naresh memberitahu. "Katanya kamu disuruh nunggu."

Ternyata Kalil teguh juga dengan pendiriannya. Seratus persen bodo amat, aku tidak peduli dengannya dan tidak peduli dengan apa yang dikatakannya. 

"Oh i-iya. Kalil udah bilang kok."

Naresh mengangguk sekali. Ia tidak bertanya lebih, padahal aku berharap sekali ditanyai macam-macam olehnya. Apapun itu, sekalipun itu membahas kartun Jepang yang baru ia lihat semalam. Atupun mungkin series komik terbaru yang ia koleksi. 

Kenapa aku bisa tahu segala kesukaan Naresh? Jawabannya simpel dan cuma satu ... yaitu mencari tahu. 

"Lin boleh ngomong sesuatu sebentar?"

Aku sedikit menimang. Mengingat ini kali pertamanya sosok Naresh berinteraksi lebih denganku. Aku juga bingung akan takdir yang dituliskan Tuhan padaku. Awalnya interaksi seperti ini, dulunya akan menjadi angan. Aku yang dulu hanya sering melihat dirinya lewat instastory menggunakan fake akun, tidak akan pernah terbayang sedikit pun bertatap muka bahkan berbicara dengan Naresh. 

Ngomong-ngomong apa yang ingin dibicarakan taruna ini? Apa itu ada hubungannya dengan Gojo Satoru yang saat ini tengah disegel. Atau malah Eren Yeager yang sedang melakukan Rumbling? Entahlah. 

Mungkin lebih dari itu. 

Mungkin juga ia akan menyatakan perasaannya padaku. 

Yang terakhir ini jangan diambil hati, aku hanya bercanda. Oh ayolah! Hidup jangan sekaku kanebo kering. Tapi juga jangan selunak mie. 

"Ada yang mau saya bicarain sama kamu. Enggak terlalu penting, tapi kamu perlu tahu."

Degup jantungku kian cepat. Kalimat, 'tapi kamu perlu tahu' membuatku bertanya-tanya. Apa makna dari ucapannya taruna itu. Aku pernah remedial bahasa Indonesia satu kali, jadi tolong langsung saja pada pembahasan inti wahai Disney Prince. Aku tidak pandai menebak. Aku bukan ahli bahasa. 

"Ini." Naresh menyodorkan secarik kertas lusuh padaku. Mataku sedikit menyipit kala ditunjukkannya kertas itu. "Gak sengaja jatuh pas di UKS tadi. Maaf nggak sengaja baca."

Aku termangu. Aku tahu betul apa yang ada dalam kertas itu. Setahun lalu aku sempat menulisnya. 

"Mau saya kasih tahu caranya bisa wujudin itu semua?" Ia menampilkan senyumannya lagi, "tapi ... kita ubah dulu sub judulnya. Jadi The reason why I should stay alive." Tangannya dengan lihai mencoret kertas lusuh itu. Kata yang mulanya bertuliskan, 'before I die I want to... ' ia rubah menjadi 'the reason why I should stay alive' tidak lupa dengan emotikon senyum diakhir kalimat. 

"Mungkin kita memang nggak pernah berinteraksi sebelum ini, tapi saya mau bantu kamu Lin. Saya mau bantu kamu wujudin semua impian kamu. Jangan mati sebelum Tuhan manggil, curang namanya kalo kamu gitu." Ia mengucapkannya dengan satu tarikan napas. Tersenyum tipis sembari memandangku teduh. 

"Kamu tahu nggak, list yang kamu tulis ini banyak loh. Itu tandanya kamu disuruh bertahan sama Tuhan, banyak yang harus dilakuin Lin. Please stay here. Jangan menyakiti diri ya."

"Ak—aku ...."

Kalimat itu hanya menggantung. Tidak mampu untuk melanjutkan. Rasanya mulutku seperti dikunci. Tatapan yang taruna itu layangkan tidak bisa membuatku terus berlama-lama menatapnya. 

Kualihkan pandanganku, asal tidak berkontak mata dengan Naresh. 

"Mau ngejalaninnya bareng-bareng? Ayo kita isi lebih banyak lagi. Sampai kamu tahu, arti dari hidup kamu yang sesunguhnya. I beg you, Lin .... "

Kertas sialan itu seharusnya sudah kubakar. Kertas itu harusnya tidak di tangannya. 

Dan seharusnya ... aku tidak bertemu dengannya.



***

Tulisan blog ini kembali hadir. Enggak tahu bakal di upload di Wattpad atau enggak.



.