Aku ingin mati
Sebaris kalimat itu terukir disalah satu pagar jembatan. Mampu membuatku berdesir sesaat setelah membacanya. Tak ada yang berubah, semuanya masih sama. Sepintas pemikiran gila muncul, apa aku melompat saja dari jembatan ini? Lalu jasadku akan hilang entah kemana, oke semua itu tidak akan mungkin kulakukan. Karena aku, hanya mampu menyusun skenario-skenario picik dalam pikiran.
Lagipula tidak ada gunanya lagi aku di sini. Aku tidak dibutuhkan lagi.
Everything will be fine, kata orang-orang. Semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya hingga detik ini aku tidak menemukan arti dari kalimat yang sering diucapkan oleh orang-orang, yang katanya jadi salah satu obat penenang kala diri sedang tidak baik-baik saja.
"Tuhan tahu kamu itu kuat Lin!" kata Kalil sore itu saat ia entah dengan sengaja atau tidak mengetahui bekas sayatan di tanganku.
Sepupuku itu jarang menggunakan kata ganti aku-kamu saat berbicara denganku. Itu sedikit membuatku terkejut. Gurat khawatir tercetak jelas di wajah pucatnya. Kalil memekukku erat, mengusap punggungku beberapa kali. Ia menangis. Padahal Kalil itu tipikal orang yang jarang sekali menangis.
"Gue tahu lo capek. Mungkin lo udah muak denger kata semangat, quetos-quetos yang ada di internet. Tapi Lin, lo perlu tahu. Kalo lo gak sendiri, lo gak akan pernah sendiri," ujarnya serak, "gue ngerasa gagal jadi sepupu lo. Maaf, maaf belum bisa jadi sepupu yang baik."
"Sekarang, lo gak boleh mendem apa-apa sendirian. Apa gunanya gue di sinik lo sama sekali gak mau terbuka buat gue." Kalil berbicara dengan napas yang mulai sedikit teratur, berbeda dengan beberapa menit lalu.
"Gue minta maaf Lin."
"Lil. Thanks for a lot. Makasih udah peduli sama aku. Tapi untuk masalah ini, aku bisa handle sendiri. Kalau dirasa aku emang gak sanggup, pasti orang pertama yang bakal aku temui itu kamu Lil."
"Promise?" Jari kelingking laki-laki itu terangkat. Tatapannya terlihat tulus. Membuatku tak bisa untuk tidak tersenyum tipis. Kalil itu baik, sangat bahkan. Seseorang yang akan mendampinginya kelak pasti sangat beruntung.
"Aku gak bisa janji, tapi aku usahain."
Itu adalah jawaban terakhir pembicaraan kami sore itu. Sebab malam ini ditengah hiruk pikuk ibukota, aku kembali sendiri. Meratapi nasib yang kian hari kian membuatku merasa tercekik.
Kalau saja bisa, aku ingin menyerah.
Ini belum seberapa memang, aku tahu betul. Tapi bolehkah remaja usia 18 tahun ini mengeluh barang sebentar saja?
Aku hanya ingin mengatakan pada dunia, aku benar-benar lelah.
"Bu, aku capek .... "
Pada akhirnya aku kalah. Sekuat apapun tembok yang kubangun, aku tetap manusia lemah. Bodoh, dan tidak tahu diri. Disaat-saat seperti ini, aku justru menginginkan seseorang berada di dekatku.
Disaat seperti ini, aku ingin marah pada Tuhan. Kenapa-kenapa Tuhan harus mengambil Ibu terlebih dulu?
I meant to be alone, aku tidak punya siapa-siapa selain diriku sendiri. Aku tidak punya tempat untuk bersandar.
Kalil? Sepupuku itu orang baik, dan aku tidak ingin merepotkannya lagi. Aku tidak ingin membuat Kalil merasa terbebani. Kalil memiliki kehidupannya sendiri, dan aku tidak sejahat itu untuk terus menariknya kedalam masalahku.
"Kadang nangis itu salah satu bentuk untuk mengeskspresikan diri, bukan berarti kamu lemah, dan bukan berarti juga kamu cengeng."
"Tuhan nggak mungkin kasih cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya Lin. Kamu hanya disuruh untuk bertahan dan berusaha."
Tanpa menoleh dari mana asal muasal suara berat itu, aku cukup hapal akan sosoknya. Laki-laki yang kuhindari beberapa minggu ini. Aku tidak mengerti, dari mana ia bisa sampai di tempat ini.
Atau jangan-jangan Kalil?
Bukan ... itu bukan suara Kalil.
"Bukan berarti Tuhan nggak sayang. Tuhan justru suka kalau kamu mengeluh, itu tandanya kamu ingat kalau kamu masih punya tempat untuk mengadu," katanya. Kali ini sosok laki-laki itu berdiri di sampingku. Memangku tangannya pada pagar jembatan.
"Kamu dari tadi?" tanya Naresh. Iya laki-laki itu yang tadi berbicara. "Kayaknya iya."
Dasar sinting, tanya dijawab sendiri.
"Mukanya biasa aja kali." Ia merotasikan bola matanya.
"Ngapain?"
"Hah?"
"Ngapain di sini?" tanyaku agak ketus. Apa Naresh tidak sadar kalau dia ini mengganggu?
"Cari angin dan ... nggak sengaja ketemu Mbak-mbak lagi nangis," ucapnya.
Aku memutar bola mata malas mendengarnya. "Gak lucu," dengusku.
"Nggak lagi ngelucu kok." Ia menjawab singkat.
Setelahnya kami tak berbicara lagi. Naresh diam sembari menatap lurus dengan sesekali tersenyum, agak sinting memang laki-laki itu. Aku agak heran ada saja yang menyukai manusia jenis dirinya.
"Kamu nggak ada niatan mau teriak? Mumpung sepi," katanya tiba-tiba.
Kutolehkan kepalaku ke arahnya. "Buat apa?"
"Entah, siapa tahu butuh buat— eumm biar lega aja gitu?"
Kuhembuskan napasku kasar. "Nggak ada, nggak lagi pengin ngapain-ngapain dan nggak lagi pengen banyak bicara."
"Kamu ... aslinya cerewet juga ya?"
"Nggak!"
Aku rasa aku sudah kelewatan.
"Nih." Naresh menyodorkan sebuah es krim cone rasa coklat ke arahku. "Tadi nggak sengaja mampir, kebetulan beli dua, yang satu strawberry. Kata Kalil kamu gak suka olahan dari buah itu. Jadi nih, coklat buat kamu," katanya sembari menyodorkan es krim itu.
"Kata Ibu, gak baik kalo cuma diliatin aja." Tanpa persetujuan dariku, ia menarik tanganku lantas menaruh es krim itu. "Jangan lupa dimakan, balik dulu. Jangan malem-malem pulangnya banyak nyamuk takut digigit."
Setelah mengatakan kalimat terakhirnya. Laki-laki muda itu berlalu, meninggalkanku sendiri. Kutatap sendu es krim Naresh. Kenapa Tuhan senang sekali membolak-balikkan hati hamba-Nya?