Selama hampir delapan belas tahun hidup di dunia ini. Bagaimana menurutmu jika mendengar kata vampire?
Twilight? Si Edward Cullen? Bella Swan? Atau mungkin Tristan?
Ya pada akhirnya, tak sedikit orang mempercayai bahwa vampir, mahkluk mitologi itu benar-benar ada dan nyata. Sejujurnya, di sekolahku aku mencurigai seseorang. Katankalah aku ini bodoh, Jinan—sahabatku pernah mengatakannya. Dia sama sekali tidak percaya apa yang aku ceritakan tentang teman sekelas kita Si golden hands Renzen Javier.
Aku memang tidak dekat dengannya, bahkan Renzen jarang sekali berinteraksi di dalam kelas. Kala itu, menjelang malam saat pulang sekolah aku tidak sengaja melihatnya, Renzen berlari secepat kilat bersama dengan temannya yang satu spesies bernama Leo. Setidaknya, Leo ini pernah sesekali berinteraksi denganku. Tidak dengan Renzen yang menatapku saja sepertinya laki-laki itu enggan.
Apa aku kotoran menjijikkan sampai-sampai laki-laki pendek itu enggan menatapku?!
Serius, saat aku mengatakan ia berlari secepat kilat aku tidak berbohong. Mataku tidak minus, aku benar-benar melihatnya. Orang biasa tidak bisa melakukan hal semacam itu. Sudah terbukti bukan? Renzen dan mungkin saja Leo bukanlah manusia.
Oh ayolah, lupakan tentang Renzen.
Siang ini, diistirahat kedua aku bersama Jinan memilih untuk mengisi perut di kantin. Jinan sedang memesankan makanan untuk kita berdua, laki-laki bertubuh tinggi itu tengah mengantri bersama siswa-siswi yang tengah kelaparan. Untung saja bukan aku yang mengantri, bisa-bisa aku merusak seisi kantin karena tidak sabaran.
Kurasakan kursi depanku tengah ditarik ke belakang yang menimbulkan bunyi deritan cukup nyaring, aku tidak mengetahui siapa oknum dibalik kursi berderit itu. Sampai netraku tidak sengaja bersibobrok dengan miliknya. Netra gelapnya memandangku datar. Apa ia tidak memiliki kaca, seperti apa ekspresi wajahnya sekarang?
Mengapa ia menatapku dengan tatapan datar seperti itu?
Jika itu Jinan, sudah pasti ia akan kalah dariku. Aku selalu menang dari Jinan, apapun itu.
"Renzen?"
Seratus persen, itu bukan suaraku. Itu suara milik Jinan yang entah tiba-tiba laki-laki itu sudah berada tepat di belakangku. Kutatap manik legam milik Renzen. Sedangkan dirinya, memutuskan untuk mengakhiri aksi tatapan kami tadi.
"Boleh kita gabung? Meja lain sudah penuh." Kali ini Leo berbicara dengan sopan. Perlu kalian ketahui, Leo ini selalu menampilkan senyumannya berbeda dengan temannya itu yang justru jarang sekali tersenyum atau bahkan tidak pernah.
Aku tidak pernah melihatnya tersenyum barang sedikit pun.
"Sure, lagian aku juga sama Jinan aja kok, kalian boleh gabung," ucapku pada akhirnya mengizinkan kedua laki-laki itu untuk semeja denganku juga Jinan.
"Thank you," balas Leo.
"Ngomong-ngomong ... kalian bisa ma—makan?"
Huh, ada apa dengan Jinan? Dia ingin membuka kartuku di depan mereka?
Aku memelototi Jinan, sembari kakiku menginjak kakinya di bawah meja. Jinan memekik dengan matanya menatapku tajam, kubalas dengan tatapan sama tajamnya. Semoga Renzen dan Leo tidak menyadarinya.
"Apa maksudmu?" Suara milik Renzen membuat Jinan terlihat kikuk. Bahkan saat aku mencuri pandang, Jinan seperti takut untuk bertatap langsung dengan Renzen.
"Tidak ada, sorry," cicit Jinan. Lagian Jinan cari mati saja. Tidak mungkin kan, ia bilang pada mereka secara gamblang tentang dugaan kami selama ini kalau mereka itu vampire?
Kami berempat tidak banyak bicara, hanya fokus dengan makanan masing-masing. Ada yang aneh, kalau memang Renzen dan Leo itu vampire, tidak mungkin kan mereka bisa makan-makanan manusia biasa. Atau mungkin mereka itu setengah vampire setengah manusia? Seperti yang pernah kulihat di televisi?
"Apa yang kamu pikirkan Lin?"
Aku terkesiap, lantas menatap Renzen yang tepat berada di depanku dengan selidik. Namun sebisa mungkin, tak kutunjukkan langsung raut wajahku yang curiga akan dirinya. Ya ... aku masih belum percaya sepenuhnya. Aku yakin seratus persen malam itu, aku tidak salah liat. Renzen dan Leo benar-benar lari secepat kilat, seperti kedipan mata. Bahkan aku sempat menahan napas waktu itu. Ada satu hal lain yang belum pernah aku ceritakan pada Jinan tentang teman sekelas kita.
Mereka meminum d*rah.
Tidak salah lagi, warna merah pekat itu bukan jus strawberry ataupun sirup.
"Elina!"
"Ya?"
Renzen menatapku datar. "Ada yang mengusik pikiranmu?"
Aku menggeleng cepat, setelah sadar apa yang baru saja aku pikirkan. "Nothing, sepertinya aku harus pergi."
"Mau ke mana?" tanya Jinan sesaat setelah melihatku berdiri.
"Kelas," jawabku singkat. Setelahnya aku benar-benar pergi dari hadapan mereka. Lagipula aku juga tidak berselera makan.
Keadaan ruang kelas memang sepi saat jam istirahat, syukurlah aku bisa membuka buku diary-ku. Kuberi tahu sedikit tentang apa saja yang kutulis dalam buku itu. Pada halaman pertama, tentu saja tentang diriku, apa saja yang aku suka dan aku tidak suka.
Aku membolak-balikkan lembaran kertas putih itu, ada satu halaman di mana isinya berkaitan tentang Renzen. Jujur saja, saat bertatap langsung dengan matanya aku merasa takut. Tatapan yang diberikan Renzen seperti mengintimidasiku.
Saat di kantin tadi, aku tidak bisa untuk tidak curi-curi pandang pada Renzen. Jangan berpikiran bahwa aku perempuan yang tidak-tidak, aku sudah memberi tahu alasanku mencurigainya kan?
Laki-laki itu bukan manusia biasa.
"Kamu mencurigaiku?"
"Holly fu*k!"
"Language girl."
Ya Tuhan, jatungku rasanya hampir copot. Bagaimana aku tidak menyadari Renzen tengah berada di sampingku sekarang. Bahkan aku tidak mendengar langkah kakinya sama sekali.
Tunggu, apa jangan-jangan ...?
"Aku tidak berlari."
Apa, apa yang baru saja dia katakan? Renzen membaca pikiranku?
"Kamu mengatakannya barusan. Itu cukup jelas."
Eeeu ... menjengkelkan sekali dia.
Aku menatapnya tajam. "Kenapa bisa ada di sini?"
Renzen menengadah, tersenyum tipis. Detik setelahnya ia merubah raut wajahnya menjadi datar lalu menatapku tak kalah tajam. God, aku tidak bisa membayangkan jika laki-laki itu marah akan ucapanku. Lalu dia menggitku dan menghisap darahku seperti film-film yang pernah kutonton. Kecuali kalau itu Cedric Diggory, aku akan memberikannya dengan sukarela.
Tidak, bukan Cedric. Maksudku Edward Cullen.
"D*rahmu itu asin."
Tunggu bagaimana bisa ...?
Aku jadi semakin yakin bahwa dia bukan manusia. Tidak mungkin manusia biasa bisa membaca pikiran seseorang kan? Tapi bisa saja dia hanya sekedar menebak.
Renzen masih setia menatapku. Bukan tatapan tajam seperti beberapa menit lalu namun, tatapan entah bagaimana, akupun tidak bisa mengekspresikannya. Mendadak aku gugup dibuatnya, aku tidak berani menatap balik obsidian gelap miliknya. Lagi dan lagi, aku merasa terintimidasi. Renzen benar-benar menakutkan.
"Jadi sudah tahu tentang diriku yang sebenarnya Lin?" tanya Renzen lirih namun aku bisa merasakan ketegasan di dalamnya.
"T-tidak a-ku tidak tahu."
Sial, aku jadi terbata-bata.
"Kuberi tahu ya Lin. Kurangi kebiasaanmu membaca buku-buku fantasimu itu."
Siapa dia? Kuberi tahu ya tuan Renzen yang terhormat. Aku sama sekali tidak peduli dengan ucapanmu. Mau dirimu seorang vampire, penyihir ataupun alien sekalipun aku sama sekali tidak peduli.
"Vampire," kata Renzen tiba-tiba. Menarikku pada realita yang ada. Manusia— oh tidak. Mahkluk mitologi itu masih ada di sampingku.
"Tidak ada manusia yang boleh mengetahui tentang vampire Lin. Mereka memang ada, bahkan hidup berdampingan. Aku tahu apa yang ada dipikiranmu saat ini."
Perkataan Renzen membuatku bisu. Aku hanya bisa diam menyimak ucapannya. Jadi dugaanku dan Jinan selama ini memang benar? Mereka vampire dan bukan manusia, tapi bagaimana bisa mereka memakan makanan manusia biasa?
"Kami berbeda. Masih ada darah manusia di dalam tubuh kami. Aku dan Leo berbeda dengan kalian," kata Renzen. "Jangan mencari tahu lebih Lin."
"Ke-napa?"
"Itu sudah hukum alam."
Setelah itu dengan rasa penasaran yang menghantuiku ia pergi dari hadapanku tanpa pamit. Manusia itu— maksudku vampire itu pergi melesat entah kemana, aku tidak tahu.
Sepertinya aku sudah gila mempercayai semua ucapannya.
-end-
Just fiction okay?
fantasy story. Cerita ini adalah cerpen yang kutulis untuk tugas sekolah.