Langsung ke konten utama

Cassieopeia dan Ceritanya Sore itu.

Lautan manusia memenuhi area stadion Cassieopeia, orang-orang berlalu-lalang menuju stand-stand penjual makanan. Setiap setahun sekali, stadion terluas di daerah Kadet 104 Petra ini selalu ramai jadi tak heran banyak pengunjung yang datang. Lagi pula, bazar ini hanya dibuka setahun sekali selama bulan Ramadhan dan yang jelas orang-orang tak ingin ketinggalan moment bazar Ramadhan tiba. 

Sore ini, kuputuskan untuk datang ke stadion sendirian karena sahabatku—Anjani yang pemalasnya minta ampun itu membatalkannya tepat tiga puluh menit sebelum berangkat. Mau tahu alasannya apa? 

"Cle, gue gak bisa, Rehan ngajakin gue nonton."

Yah, anak manusia satu ini memang suka sekali menguji kesabaranku, untungnya aku bukan tipe orang yang cepat marah. Walaupun rasanya seperti dicampakkan, di php, karena pada awalnya Anjani lah yang mengajakku terlebih dahulu.

Berbicara tentang Anjani memang tidak akan ada habisnya, lagipula aku terlalu malas membahas anak Voldermort itu. 

Oh ... aku tidak terlalu jahat kan mengatainya anak Voldermort

Aku berjalan gontai, sembari melirik sana-sini mengamati orang-orang yang asyik bersosialisasi. Huh ... energiku rasanya terkuras habis melihat banyaknya orang-orang. Aku tidak pandai bersosialisasi, serius melihat banyak sekali orang saja sudah membuatku tidak nyaman. Jujur sekarang, aku seperti anak hilang yang ditingal ibunya di tengah pasar ditambah mukaku yang sangat melas. 

Sambil memegang tali tas erat-erat aku berusaha menuju salah satu stand penjual makanan. Sudah kuputuskan aku akan memesan satu saja, setelah ini segera kembali pulang ke rumah. Aku ingin segera keluar dari tempat ini.

"Mau nyari apa Kak? Mie goreng ada, seblak ada, nasi goreng, mie rebus, lontong sayur, lontong kecap, sate, soto, rawon, semuanya ada. Mau dibungkus apa makan di sini?" tawar salah satu penjual saat aku tiba di depan stand-nya. Oh ya... mengingatkanku pada Uchle Mutu di serial Upin&Ipin.

Aku tertawa kecil, tidak seburuk itu ternyata. 

"Saya pesen lontong sayur Bang."

"Saya pesen lontong sayur Mas."

Eh ...?! 

Kok...? 

"Wah barengan, oke-oke saya buatkan sekarang," ucap penjual itu. 

Aku menoleh ke samping kiriku yang ternyata ada sosok lain selain diriku. Cukup kaget dengan perbedaan tinggi badan kami, huh ... apa aku sependek itu ya? 

Ini, aku hanya sebatas bahunya— ah ralat kurasa tidak ada sebatas bahu. Aku dibuat insecure melihat perbedaan tinggi badan kami. Karena itu, aku agak menjauh dari sosok itu—laki-laki itu maksudku. 

Lupakan pikiran jelekmu itu Cle, sekarang kembali ke realita yang ada. Kamu memang pendek. 

"Pesanannya Kak."

Aku mengerjapkan mata. "Makasih Mas, ini uangnya." Tanganku terulur menerima bungkusan lontong sayur, dan sebagai gantinya Mas penjual lontong sayur itu menerima uangku. 

"Ini Kak,  kembaliannya. Terima kasih ya udah beli di sini, semoga puasanya jadi berkah semangat!"

"Terima kasih kembali, saya duluan ya."

"Siap jangan lupa beli di sini lagi ya!"

Respon terakhir yang kuberikan hanya tersenyum dengan anggukkan kepala. Maaf mas penjual lontong, sebenarnya aku tidak berharap  datang ke bazar ini lagi. Jujur aku agak kaget, masih ada orang baik ternyata di bumi. Padahal aku berencana pindah ke pulau Paradis karena tidak kuat dengan orang-orang bumi. 

Eumm ... paradise itu masih bagian dari bumi kan? 

"Tunggu, hei!"

Siapa sih? Orang memanggilku ya? 

"Hei, berhenti!"

Apa itu salah satu panggilan dari anggota Survey corps yang akan merekutku menjadi anggotanya? 

"Yang pake baju ungu!"

Langkahku terhenti, yang pake baju ungu. Itu aku! 

"Tas slempang!"

Tapi, bukan hanya aku yang pake tas slempang kan?! 

Sret...!

"Hah!"

Jantungku kaget bukan main, terlebih tanganku yang dicekal oleh seseorang sekarang. Tunggu dulu, orang ini adalah laki-laki tadi! 

"Hape-nya jatuh tadi, kenapa dipanggil nggak nyahut?"

Ya mana saya tahu kamu manggil saya Mas! 

"Nih." Laki-laki yang tidak kuketahui siapa namanya itu menyodorkan benda pipih persegi panjang padaku. 

Aku dan laki-laki ini sekarang tengah berhadapan. Untung saja aku memakai masker, jadi aku sedikit merasa aman walaupun sama sekali tidak nyaman harus berdekatan dengan lawan jenis. 

"Ma—makasih," ucapku terbata. Tuh kan aku kikuk, sudah kuberitahu aku itu tidak nyaman. 

Mas tadi, eh laki-laki tadi masih berdiam diri di tempat. Padahal aku sudah mengambil ponselku, apa dia meminta imbalan ya? 

"Ke—kenapa k—kak? Ma—mau minta im—imbalan ya?"

Satu kata untukmu Cle! 

Kamu bodoh! 

Errr ... sebenarnya itu masuk dua kata.

"Eh?" kagetnya, raut mukanya jelas ketara sekali, mana dia tidak memakai masker lagi. "Enggak, saya ikhlas kok nolong. Em... itu saya cuma mau tanya ...."

Oke, kamu berlebihan Cle, jangan asal ngomong makanya malu kan jadinya! 

"Tanya apa Ma—Mas?" Lagi dan lagi, aku terbata. Astaga, kenapa aku jadi gugup begini sih. 

"Tenang-tenang saya gak akan berbuat aneh-aneh kok kalo itu yang kamu takutin. Saya cuma mau tanya ...," Ia mengagantungkan ucapannya. "Itu kamu beli case ponselnya di mana ya?"

Eh ...?

Aku tidak salah dengar kan? 

Dia menggaruk rambutnya. "Aduh gimana ya maaf, saya cuma mau tanya aja sih. Kebetulan adek saya suka karakter di case ponsel kamu. Ulang tahunya ke 16 nanti mau saya beliin." Laki-laki ini kembali berujar, "Itu kalo kamu gak keberatan buat kasih tahu nama tokonya." Kalimatnya mencicit di akhir. 

Duh Mas ... kenapa tidak bilang dari tadi sih. 

"Itu saya belinya di oren kak, namanya tokonya aliansi****," jawabku memberi tahu.

Laki-laki tadi tersenyum mengangguk-angguk, "Makasih ya, saya duluan ... semoga kita ketemu lagi."

Aku terdiam lama, tidak tahu harus merespon apa selain tersenyum. 

Hari ini, aku bertemu dengan orang aneh.

Apa justru aku yang aneh?



-end-

Just fiction, okay?