Langsung ke konten utama

BAB 2

Aku dan dirinya benar-benar bertolak belakang. Setiap kali ia lewat di depan kelasku, aku secara diam-diam memerhatikan sosoknya. Pandangannya hanya lurus ke depan, ya walaupun sesekali tak sengaja diriku tengah kepergok memerhatikan sosoknya. Naresh Aditama atau Aditama Naresh? Aku kurang tahu siapa nama panjang taruna itu, yang aku tahu teman-temannya memanggil taruna itu dengan sebutan Naresh. Namun, aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Disney Prince.  Menuruku itu sesuai dengan dirinya. Aku suka saat ia tertawa, saat ia menyunggingkan kedua sudut bibirnya yang menambah kadar ketampanan yang ia memiliki. Aku sedang tidak memujinya, aku hanya berbicara fakta. Lagipula, aku tidak yakin tidak ada yang menyukai sosok Naresh. Dari yang aku tahu saja, teman sekelasku ada yang menyukainya. Aku tidak bodoh dengan tatapan dambaan orang-orang akan dirinya.

Sepulang sekolah, aku memang sengaja untuk tidak langsung pulang ke rumah. Selain aku selalu teringat ibuku saat menginjakkan kaki di rumah. Aku juga malas harus berdesakan di parkiran dengan teman lainya yang berlomba-lomba segera ingin pulang. Jadi, kuputuskan saja untuk duduk di kursi depan kelas. Sembari menunggu sekolah agak sepi.

“Lin ikut nonton konser gak? Ada grub K-Pop yang bakal ngadain konser ke Indonesia. Katanya juga, Justin Bieber bakal ke sini ya?” Temanku yang satu jurusan denganku satu kelas pula, bernama Heya memulai topik pembicaraan kali ini.

Heya memang sedikit maniak akan K-Pop. Aku? Tentu saja, bisa dibilang kita sama-sama maniak. Tapi Heya satu level lebih tinggi dariku. Maksudnya, Heya lebih maniak daripada aku. Heya itu cantik, tinggi, banyak kaum Adam yang mengincarnya. Satu hal yang perlu kamu tahu, Heya orangnya cuek, kayanya, "Aku cuma mau nikah sama Haechan NCT."

Sama ... aku juga ingin nikah dengan Shoto Todoroki.

“Lah aku mana tahu Yaya! Tahu sendiri akhir-akhir ini lagi vakum dunia K-Pop,” ujarku.

“Heh? Serius? Sejak kapan?” tanya gadis itu dengan mata melotot—tak percaya apa yang baru saja aku katakan.

“Dua bu ... lan lalu?” kataku sedikit berpikir. Ya ... Kira-kira dua bulan aku tidak aktif di fandom yang kuikuti.

“Kok aku bisa gak tau ya? Masih aktif di twitter gak?” Heya bertanya sembari membuka ponselnya. “Terakhir retweet postingannya Wirawan, gak sekalian Wiranto?” gelaknya.

“EXO itu ya,” ralatku.

Heya merepetkan dirinya ke arahku. Gadis itu mendekatkan layar ponsel miliknya tepat di depan mataku. “Nih baca username-nya,” ujarnya.

“Hmm.”

“Aku pulang duluan ya, entar kalo ada apa-apa DM aja. Jangan chat wassap, jarang buka soalnya,” pamit Heya tiba-tiba. Sebenarnya sekolah memang sudah agak sepi.

“Buru-buru banget? Hati-hati deh, sekalian muter musik hati-hati di jalan oke tuh,” ujarku. “Be the way Ya, kalo ada apa-apa chat aku ya!”

“Sip duluan.”

“Hmm.”

Sepeninggal Heya, kini hanya ada aku dan juga beberapa murid yang mungkin akan melakukan kegiatan ekstrakurikuler. Aku sama sekali tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler ditahun keduaku. Capek, aku juga malas harus bertemu banyak orang. Bukan berarti aku anti sosial, aku hanya ingin sendiri untuk saat ini.

Kedua retina mataku tidak sengaja menangkap figur sosok Naresh. Ya ... taruna itu duduk di seberang sana. Dengan seragam ektrakurikuler-nya. Taruna itu tengah berganti sepatu. Ngomong-ngomong itu topi yang digunakannya saat aku tidak sengaja bertemu dirinya di sudut kota waktu itu.

Aku tidak berbohong, Naresh benar-benar definisi Disney Prince yang sesungguhnya. Apa benar, Naresh itu masih memiliki keturunan darah biru?

Naresh Aditama percayalah, ada sosok yang menunggumu saat ini. Tentu bukan aku orangnya.

“Lin!”

Aku terkesiap kaget saat seseorang menepuk bahuku. Kutolehkan kepalaku pada oknum yang baru saja membuatmu kaget itu.

“Kalil?”

Kalil, yang setahun belakang ini selalu mengejar Rossie anak kelas sebelah. Satu kelas dengan Naresh Disney Prince. Ngomong-ngomong aku memang agak dekat dengan Kalil karena kami masih memiliki ikatan darah. Ibunya Kalil adalah adik ibuku. Namun dalam segi umur Kalil lebih tua seminggu dari pada aku.

“Ngapain masih di sini? Tinggal anak eskul doang loh. Ada jadwal eskul? Atau apa?” tanyanya beruntun. “Oh tahu nih, pasti lagi liatin  anak eskul gue kan lo? Siapa spill dong!”

Ya Tuhan. Kenapa aku harus dihadapkan dengan sosok Kalil?!

“Suaramu jangan keras-keras nanti ada yang tahu!” ketusku sembari memukul lengannya.

“OHHHH JADI BENER. SIAPA? MANA ORANGNYA?”

Suara Kalil yang seperti toa ini mampu menarik atensi orang-orang. Mereka langsung menatapku dan juga Kalil. Sama halnya seperti taruna yang berada di seberang, Naresh. Menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti arti dari tatapannya itu.