Langsung ke konten utama

Kalil dan Kemeja Ungu

Sore hari menjelang malam bertahun-tahun lalu. Saat itu usiaku baru menginjak sepuluh tahun. Tujuh tahun berlalu, rasa-rasanya seperti baru kemarin aku menginjak usia sepuluh tahun. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Hari di mana, yang tidak pernah kubayangkan sama sekali dalam hidupku. Ah ... iya perlukah aku mengenalkan siapa diriku? Singkat saja, aku Rossie. Aku bukan pembalap MotoGP ya. Aku juga bukan member dari salah satu girl grub Korea Selatan itu. Rossie diambil dari bahasa Inggris bunga mawar, Rose. Lalu diplesetkan oleh ibuku menjadi Rossie. Tidak perlu bertanya siapa nama panjangku, aku tidak akan mengatakannya. Cukup memanggilku Rossie saja okay?


Rossie berusia sepuluh tahun bukan Rossie yang sekarang. Di mana ia belum mengenal apa arti kehidupan yang sebenarnya, yang gadis kecil itu tahu hanyalah bagaimana caranya tertawa, bagaimana caranya ia bisa bergaul dengan teman-teman sebayanya. Rossie itu gadis kecil yang cukup pintar mengaji. Walaupun selalu kalah jikalau ada lomba Tartil Al Qur'an. 

Hari-hari Rossie tidak terlalu buruk. Pagi sekolah, sore hingga magrib mengaji. Lalu dilanjut les hingga waktu isya' tiba. Hidupnya terarah, tidak seperti sekarang. Rossie yang sekarang hidupnya terlalu menyedihkan. Satu hal yang paling diingat Rossie kecil hingga sekarang. Laki-laki kecil bernama Kalil. 

Laki-laki sinting yang anehnya sampai sekarang mengusik pikirannya. Usianya sekarang mungkin 17 tahun? 

Sebenarnya aku tidak ingat kapan hari jadinya. Oh ya, beberapa waktu lalu aku sempat bertemu dengan Kalil. Tentu, dia tidak mengingatku. Lagipula, aku ini siapa? Kalil itu tipikal orang yang gasrak-gusruk. Walaupun ya ... lumayan lah dalam segi ketampanan.
Aku ingat betul satu hari di mana selepas pulang mengaji. Dengan bodohnya ia memintaku untuk memboncengnya dengan sepeda, yang jelas-jelas dalam segi perawakan ia menang telak. 

Tuhan, aku tidak kuat!

“Ross ayolah, atau kamu kubonceng saja?” tawarnya dengan muka tengil yang ingin sekali kutonjok.

Setengah mati aku menahan untuk tidak mengumpatinya. Pasalnya tidak hanya aku kala itu. Cukup ramai dengan teman-temanku yang lain. Tidak hanya itu, bu Ani—ibunya Ari. Bahkan wanita paruh baya itu juga ikut-ikutan.

“Ros jangan lama-lama mikirnya. Keburu magrib tahu!”

“Ya ampun Lil! Kamu jalan kaki kayak biasanya bisa kan? Temenmu Diki juga bawa sepeda tahu!” ketusku.

Ia menggelengkan kepalanya sembari berkacak pinggang. Menghadang roda sepedaku dengan satu kakinya. Padahal waktu itu ia tengah memakai sarung. Dan aku juga masih ingat warna kemeja yang sering ia gunakan. Ungu dengan ornamen bunga mawar. Perpaduan yang aneh. 

Bu Ani yang kebetulan waktu itu tengah menyapu halaman rumahnya melihat kelakuan kami. Beruntung anaknya tidak ikut-ikutan. Aku tidak tahu di mana keberadaan Ari sore itu. Ngomong-ngomong tempat mengajiku itu tepat depan rumah Ari. Jadi enak sekali Ari itu, tinggal nyebrang tanpa capek-capek mengayuh sepeda.

Balik lagi ke Kalil. Apa ia tidak tahu waktu? Hari semakin gelap. Ia masih menghadangku. Aku tidak salah mengatainya orang sinting. Ada satu fakta yang perlu kamu ketahui!

Aku menyukai Kalil! Sungguh!

Jadi rasa kesal dan senang hinggap dalam satu waktu. Aku senang dapat berinteraksi dengannya. Kalil itu sebenarnya orang baik, tapi ia memamg rada sinting. Mungkin sampai sekarang ...?

“Ros ayolah!”

“Udah. Kamu aja yang dibonceng. Lagian juga searah!”

Mulutmu ini minta disumpel mie ayam ya Alun! Kalau aku tidak ingin menjaga images ku sebagai anak pendiam dan baik hati yang selama ini aku jaga. Sandal ini pasti sudah melayang di atas kepalamu.

“Kamu kan suka Kalil Ros, pas dong!”

Demi Tuhan. Tak hanya Alun, ternyata Yuda si mulut ember itu malah membocorkannya?!

Jujur waktu itu aku ingin mengubur diri di rawa-rawa. Aku malu ingin menangis rasanya. Aku sama sekali tidak berani menatap Kalil.

“Ayo. Aku bonceng!”

“Iya Mbak. Toh gak masalah dibonceng Mas Kalil. Kalo samean nanti gak bisa kan pake rok,” kata bu Ani.

“Kamu kelamaan Ros, cepeten dikit aelah!”

Hei kenapa anda marah-marah tidak jelas Yuda?!

“Ros?”

Kutolehkan kepalaku pada Kalil. “Kamu ya tapi,” kataku menyerahkan sepedaku padanya yang lantas diambil alih olehnya.

“DARI TADI DONG?!”
 
Sumpah suara Aluna!

“Hati-hati tapi,” peringatku yang kini berada diboncengan belakang. 

Aku tahu betul batas antar laki-laki dan perempuan ya. Maka dari itu kugunakan tas ranselku sebagai pegangan agar tidak jatuh. Sorakan cie-cie terus saja bersahutan sampai kami tiba di pertigaan jalan menuju rumahnya.

Laki-laki sinting itu menghentikan laju sepedaku. Sedetik setelahnya ia berdiri, mengucapkan terimakasih padaku sebelum dirinya menuju ke arah Diki. Menuju boncengannya! Catat! Ia berdiri diantara dua panjatkan di sisi kedua roda sepeda Diki.

Dan dengan bodohnya, aku sempat menyukai laki-laki sinting itu dulu. Aku kira ia juga menyukaiku.


-end-