Langsung ke konten utama

BAB 3

Hari minggu pagi kugunakan untuk jogging, entah dorongan darimana niat itu. Sebenarnya Kalil yang mengajakku, karena ia memang sedang mendekati Rossie yang tidak pernah absen untuk jogging setiap minggu. Katanya, ia malu kalau sendiri, itulah mengapa hari ini ia mengajakku. Di alun-alun kota hingga taman mini yang berada di tengah-tengah kota. Mata laki-laki bertumbuh bongsor itu sama sekali tidak berhenti melirik sana-sini guna mencari pujaan hatinya itu.

Aku yang malasnya setengah mati, ogah-ogahan untuk berlari. Kalil menggerutu sejak tadi karena aku selalu ketinggalan jauh di belakangnya. Salah sendiri ia mengajakku, tahu sendiri aku ini orangnya pemalas minta ampun. Pernah kukatakan sebelumnya kan, kalau aku dan Kalil tidak begitu dekat sebagai saudara sepupu. Bahkan kami hanya berbicara seadanya saja. Aku yang tidak suka basa-basi, sedangkan Kalil termasuk orang yang hiperaktif.

Kami sangat bertolak belakang. Mungkin alasan itu yang membuat kami tidak begitu dekat. Namun kali, entah setan apa yang merasuki tubuh saudara sepupuku itu hingga mau mengajakku untuk jogging bersamanya.

“Kalo tahu lelet gini, gue gak ngajak lo Lin,” ujar Kalil. Saat ini kami tengah istirahat di bangku taman. “Kita kehilangan jejaknya Valentino kan.” Laki-laki itu mengibaskan tangannya.

“Rossie namanya, jangan ganti nama anak orang deh.”

“Loh elo gak tahu? Itu panggilan sayang gue ke dia,” cengirnya.

Sumpah ya, masih ada orang seperti Kalil di dunia ini?

“Itu bukannya Naresh?”

“Siapa?” tanyaku mengikuti arah pandang Kalil. Kalil menunjuk sosok Naresh—ah ... si Disney Prince. Tunggu, Naresh tidak seorang diri. Di sebelah laki-laki tinggi itu, berdiri seorang perempuan cantik.

Perawakan perempuan itu cukup familiar dimataku. Aku melirik Kalil dengan ekor mataku. Ternyata, laki-laki itu juga tengah memerhatikan sepasang Adam-Hawa itu.

Bodoh! Itu Naresh dan Rossie! Pantas tatapan Kaili begitu tajam. Jadi ia tengah cemburu?

“Lil?” pangilku. Namun sepupuku itu tak mengindahkan panggilanku. Ia berdiri tanpa menungguku menghabiskan minuman yang beberapa saat lalu kuteguk. “Lil ...! Kalil ...!”

Ya Tuhan. Sudah gagal dalam percintaan. Kini, aku malah ditinggal sendirian di sini. Kenapa aku selalu ditinggal sendiri?

“Kalil emang sinting. Kalo gini jadinya mending marathon Anime!” dengusku.

Tidak ingin berlama-lama di sini, buru-buru aku mengajar Kalil yang sudah jauh dari radar pandangku. Langkahku yang tergesa-gesa dan tidak memerhatikan jalan membuatku terjatuh di paving dengan tidak estetiknya. Lututku terlebih dulu mencium paving sedangkan kedua tanganku menumpu beban tubuhku agar tidak jatuh sepenuhnya. Aku cukup beruntung tidak banyak orang yang memerhatikanku saat jatuh.

Sakit, tapi aku lebih malu.

Kalil aku membencimu!

Di keadaan seperti ini bisa-bisanya aku berharap seseorang akan menolongku. Lalu membantuku untuk membersihkan luka-luka ini. Kubuang pikiran aneh itu dari otakku. Ingat Lin, jangan keterusan membaca novel fiksi kesukaanmu itu. Otakmu benar-benar sudah tercuci ternyata.

Tangan terlurur tepat di depanku. Oke, ini hanya halusinasi semata, karena aku baru saja membuat skenario-skenario kecil di otakku. Aku tertawa pelan, menggeleng-gelengkan kepala kecil agar tangan yang terulur ini bisa cepat hilang dari pandanganku.

Semenit hingga dua menit, kenapa tangan ini tidak kunjung hilang?

Tunggu ... apa ini benar-benar nyata, aku sedang tidak berhalusinasi?

“Ayo.” Suara berat itu masuk dalam runguku. Aku tahu betul suara itu. Suara yang bahkan sangat kuhapal siapa pemiliknya.

Perlahan-lahan pandanganku mulai naik, guna memastikan apa yang baru saja aku pikirkan memang benar. Seperti dugaanku, suara itu milik Naresh Aditama si Disney Prince.