Brukkk ...!
Setumpuk buku paket Sejarah baru saja jatuh tepat di pangkuanku, sekurang-kurangnya mungkin berjumlah delapan. Aku tidak tahu siapa gerangan yang menabrakku hingga membuatku jatuh meluruh di lantai koridor kelas. Tepatnya koridor penghubung antar jurusan IPS dan IPA.
Orang itu— yang tidak lain dan tidak bukan si penabrak berulang kali mengatakan kata maaf padaku. Kedua tangannya dengan cekatan mengambil buku paket Sejarah yang berserakan di lantai. Saat aku hendak membatunya ia mengatakan, "Gak usah, saya yang salah."
Aku ingin marah. Tapi ya aku tahu ini tidak sengaja. Lagipula mana bisa aku marah dengan Naresh Aditama. Dari dua populasi manusia di sekolah ini yang kutemui pagi ini, kenapa Naresh salah satunya?
"Gak ada yang kegores kan?" tanyanya dengan suara datar, tanpa intonasi. Namun, anehnya aku justru ingin mendengar suaranya lagi. Lebih lama.
Dengan anggukan sekaku robot, aku mengatakan tidak ada goresan sama sekali. Memang, tidak ada. Tapi, cukup menambah rasa sakit di kedua telapak tanganku.
"Ckk." Decakan kecil keluar dari mulutnya. Sepersekon kemudian ia bangkit dengan membawa tumpukan buku itu.
Jadi ... Naresh tidak membantuku berdiri?!
Netraku tidak sengaja bersibobrok dengan netra gelapnya itu. Tidak lama, hanya sebentar setelah ia memutuskan kontak mata sesaat kami. Naresh memunggungiku lalu berjalan tergesa-gesa.
"Naresh!" teriakku memanggil namanya. Dan ... tepat! Taruna itu membalikkan badannya. "Tali sepatu, jangan lupa diikat!"
Ia bergeming beberapa saat sebelum melangkah pergi. Ya ... taruna itu pergi dan tidak mengindahkan ucapanku sama sekali.
Aku memberengut kesal, dasar manusia berhati batu. Kutarik semua ucapanku akan dirinya yang baik hati itu. Aku sungguh salah menilai dirinya. Semua laki-laki itu sama.
"Lah ... ngapain elo ngemper disitu pagi-pagi gini? Minta sumbangan?" Gelak tawa terdengar dari segerombolan laki-laki dan Kalil salah satu diantaranya.
Aku memang belum berdiri dari jatuhku. Ketahuilah kakiku ini sakit bukan main. Tapi memang tidak ada goresan atau luka yang terlihat.
"Gue kaisen sama lo Lin— eh kasian maksudnya," ujar si cungkring tinggi— Adimas. Ia yang paling tinggi diantara gerombolan laki-laki itu.
"Ututututu mau dikasih berapa nih? Goceng cukup gak? Cukuplah," sahut si rambut ikal. Aku tidak tahu siapa namanya, namun tatapan yang ia layangkan padaku itu sangat menjengkelkan. "Eh Elin ini sepupu lo kan Lil?"
Aku berusaha berdiri, namun gagal gara-gara kakiku yang amat sakit.
"Gak mampu berdiri ya? Lo lumpuh?" Gelak tawa terdengar kembali.
Demi Tuhan, aku ingin sekali menyumpal mulut si ikal itu. Kutatap sendu Kalil yang sedari tadi diam saja, apa sepupuku itu tidak tahu aku sedang direndahkan sekarang?
"Ini buat lo ... buat beli makan." Si ikal itu melemparkan uang sepuluh ribuan kepadaku dan disambut gelak tawa teman-temannya. Mereka kemudian berlalu, meninggalkanku dengan amarah yang siap meledak.
Ah ... ternyata sepupuku yang baik hati itu tidak ikut mereka ya.
"Lin," panggil Kalil. "Gu-gue—"
"Gue apa? Mendadak gagap?" potongku cepat. Serius, aku tidak bisa menahan amarahku sekarang. Aku kesal dengannya. Kalil itu salah memilih teman. Bisa-bisanya ia berteman dengan spesies Voldemort itu.
Perlahan aku bangkit, kusingkirkan segala rasa sakit dan malu. Catat hari ini aku menangis di hadapan Kalil. Untuk kedua kalinya setelah hari itu. Aku mengusap pipiku kasar.
"Lin gue minta maaf," ucap Kalil. Ia memegang pergelangan tanganku yang langsung kutepis dengan kasar.
"Buat apa?"
"Gue—"
"Udahlah Lil, kalo kamu gak nganggep aku saudaramu gak pa-pa kok. Aku gak masalah itu, kamu gak ngakuin itupun aku gak masalah," kataku memotong ucapannya. "Kamu gak perlu kayak gini kok, gak perlu berusaha buat baik di depanku."
***
Aku rasa hari ini aku cukup emosional. Setelah mengatakan itu pada Kalil, aku pergi dari hadapan sepupuku dengan langkah yang tertatih-tatih. Tujuanku adalah UKS, aku memilih absen untuk tidak mengikuti jam pelajaran pertama. Tidak mungkin juga aku memasuki kelas dengan mata sembab dan hidung merah seperti ini.
"Kenapa ini Kak?" Sambutan pertama dari adik kelas sepertinya saat aku membuka pintu UKS. Terlihat dari badge yang terjahit di lengan sebelah kiri seragamnya.
"Oh tadi gak sengaja jatuh, kamu ada minyak gosok gak? Saya minta dikit aja."
"Kayaknya ada, saya cariin dulu. Kakaknya mau duduk atau baring aja?" tanya adik kelas yang kuketahui bernama Farah. Tadi aku sempat membaca nametag-nya.
"Duduk aja, kaki doang kok."
"Yasudah, sebentar ya Kak."
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Alih-alih mencari di ruangan UKS, adik kelas itu malah keluar. Tapi sebelum tangannya memegang handle pintu. Pintu itu justru mendapat dorongan dari luar yang otomatis membuat adik kelas itu mundur.
"Kamjagiya!" kagetnya sembari mengelus dada. "Kak Naresh ih, Farah cariin. Kebetulan, sini." Tangannya mengadah.
Farah atau siapapun itu meminta uang pada Naresh? Apa hubungan mereka?
"Tadi udah," jawab Naresh cuek. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Mengapa mereka berbicara di depan pintu? Apa mereka tidak tahu, ada aku di sini?
Si adik kelas tadi menepuk pundak Naresh. "Bukan uang, aku minta minyak gosok yang kakak ambil tadi."
"Buat apa?"
Farah ber-rollingeyes. "Ya buat ngobati orang lah! Ada kakak kelas yang kakinya sakit, kekilir kayaknya. Cepet deh mana?"
Naresh terlihat merogoh sakunya. Lantas memberikan minyak gosok itu pada Farah. Baiklah nama adik kelas itu Farah.
"Lama!" ucap Farah pada Naresh sebelum ia berjalan mendekat ke arahku. "Kakak lepas dulu ya sepatunya, biar bisa dipakein minyaknya."
Tangan Farah hendak melepas sepatuku, namun segera kutahan. "Gak usah, biar aku aja."
"Loh kenapa? Udah tugasku kak," kata Farah.
"Eh gak usah serius, biar aku aja. Kotor soalnya," tolakku halus.
Farah tersenyum tipis. "Sekali lagi, ini tugasku kak."
"Ehem."
Kami berdua serempak menoleh pada pintu. Ternyata Naresh masih di situ ya.
"Bukannya kamu hari ini ada ulangan harian Far? Gih sana masuk kelas." Suara khas Naresh mengalun memasuki runguku. Otomatis membuat pandanganku beralih pada sosok Naresh yang masih setia berdiri di depan pintu.
"Ya ampun," ujar Farah sambil menepuk jidatnya sendiri. "Farah lupa Kak, aduh gimana nih. Kakaknya ini lagi sakit, aku kudu otthoke."
"Nggak usah lebay," cibir Naresh. "Sana masuk, biar kakak aja yang ngurus."
Tunggu dulu. Kakak? Mereka ini adik-kakak atau apa? Hubungan mereka ini saudara?
"Maaf ya Kak. Tapi tenang aja, Kak Naresh cukup handal kok soal ginian."
Aku hanya mengangguk kikuk.
"Aku duluan ya," katanya. Ia terlihat terburu-buru. "Awas aja ya kamu kalo kasar. Akan kubuang semua koleksi manga-mu!"
Tatapan tajam Naresh layangkan pada Farah. Membuat gadis itu cengengesan sendiri.
Sepeninggal Farah, kini hanya ada aku dan Naresh yang berada di ruangan UKS. Entah aku merasakan pasokan udara di sini semakin menipis ya. Tungkai jenjang Naresh perlahan dengan pasti bergerak ke arahku. Membuat jantungku memompa dengan cepat.
Naresh mengambil satu kursi kosong, yang kemudian ia taruh tepat di hadapanku. Taruna itu, dengan entengnya melepas sebelah sepatuku dan kaos kakinya— aku tidak tahu bau atau tidak karena yang pasti aku lupa mencucinya kemarin.
Ia menghela sejenak sebelum menatapku lamat. "Kamu hobby jatuh ya?"
***